Kita sangkal atau tidak, bahasa memang sudah menjadi
salah satu indicator penentu kepribadian seorang manusia itu baik atau tidak.
Tidak percaya? Langsung saja saya beri beberapa gambaran.
Percakapan I
Ibu : Nak,
kamu tadi sudah mandi?
Anak : Wis Bu,
jam loro mau.
Ibu : Oh ya
wis, sekarang Ibu mintak tolong kamu nyapu latar ya nak..
Anak : Nggih,
bu.
Percakapan II
Anak : Pak,
aku tukokno jajan tah!
Bapak : Lha iku
mau lak wes digawakno mbokmu!
Anak : Lah
mbok kemaruk ngono, kabeh dibadok.
Bapak : Ra oleh ngomong
ngono iku!
Anak : Lha
kowe yo ngomong ngono wingi nang mbok, kate aku niru sopo?
Sudah punya gambaran sekarang? Percakapan I
menggambarkan pembicaraan orang tua dan anak yang cukup (bisa dikatakan lebih
dari cukup- saat ini) harmonis. Sedangkan percakapan II, anak diajarkan untuk
meniru, bukan diajari. Jadi jika yang ditiru itu jelek, tidak usah diragukan
lagi, kepribadiannya hampir pasti jelek pula.
Siapa sih yang harus berbicara secara santun? Secara
teoritis, semua orang harus berbahasa secara santun. Setiap orang harus
berbahasa santun agar bisa menjaga etika, dan tujuan komunikasi dapat tercapai.
Sekarang, bagaimana komunikasi bisa berjalan dengan
santun? Komunikasi akan santun jika antara penutur dengan mitra tutur selalu
berprasangka baik satu sama lain. Komunikasi juga akan terasa santun jika
penutur berbicara secara terbuka dan seandainya menyampaikan kritik disampaikan
secara umum, tidak ditujukan khusus kepada pribadi tertentu.
Lagi, komunikasi juga dapat dikatakan santun jika
penutur menggunakan bentuk tuturan yang lugas, dan tidak ada yang
ditutup-tutupi. Ada lagi, penutur harus mampu membedakan situasi dan kondisi,
antara serius dan bercanda.
Ada fakta pemakaian bahasa Indonesia yang santun
ditandai dengan bahasa verbal, misalnya:
·
Perkataan “tolong” ketika
hendak meminta tolong orang lain
·
Ucapan “terima kasih” setelah
orang lain melakukan tindakan yang diinginkan oleh penutur
·
Penyebutan kata “Bapak” atau
“Ibu” dibanding dengan kata “Anda”
·
Penyebutan kata “beliau”
daripada “dia” untuk orang yang lebih dihormati
·
Penggunaan kata “minta maaf”
untuk ucapan yang merugikan mitra tutur
Disamping bentuk-bentuk verbal diatas, ternyata bentuk
non-verbal juga dapat menunjukkan kesantunan, misalnya:
·
Memperlihatkan wajah ceria
·
Selalu tampil dengan tersenyum
ketika berbicara
·
Sikap menunduk ketika berbicara
dengan mitra tutur yang lebih dihormati
·
Posisi tangan yang selalu
merapat pada tubuh (tidak berkacak pinggang)
Pemakaian bahasa non-verbal dapat menimbulkan “aura”
kesantunan dari pribadi penutur.
Meskipun banyak cara agar berbahasa selalu santun, namun
ada pula fakta bahwa komunikasi yang terjadi sering tidak santun, misalnya:
·
Penutur menyampaikan kritik
secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frase kasar
·
Penutur didorong oleh rasa emosi
ketika bertutur (sehingga menimbulkan kesan marah terhadap mitra tutur)
·
Penutur protektif terhadap
pendapatnya (agar pendapat mitra tutur tidak dipercaya orang lain)
·
Penutur SENGAJA ingin
memojokkan mitra tutur, dengan demikian, mitra tutur menjadi tidak berdaya
·
Penutur menyampaikan tuduhan
atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur
Atas dasar identifikasi diatas, ada beberapa faktor yang
menyebabkan ketidaksantunan pemakaian bahasa Indonesia.
Pertama, ada orang yang memang tidak tahu kaidah
kesantunan yang harus dipakai ketika berbicara. Jika faktor ini yang menjadi
penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah memperkenalkan kaidah
kesantunan dan mengajarkan pemakaian kaidah tersebut dalam berkomunikasi. Hal
ini biasanya terjadi pada anak kecil yang memang belum cukup pengetahuannya
mengenai kesantunan berbahasa Indonesia.
Kedua, ada orang yang sulit meninggalkan kebiasaan lama
dalam budaya bahasa pertama sehingga masih terbawa dalam kebiasaan lama. Jika
faktor ini yang menjadi penyebabnya, terapi yang harus dilakukan adalah secara perlahan-lahan meninggalkan
kebiasaan lama dan menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru.
Ketiga, karena sifat bawaan “gawan bayi” yang memang
suka berbicara tidak santun di hadapan publik. Jika faktor ini menjadi penyebabnya,
terapi yang harus dilakukan adalah mengeliminasi orang tersebut dari peran
publik (tidak menduduki posisi suatu tokoh/pimpinan) agar tidak menyebabkan
“virus” ketidaksantunan terhadap masyarakat. Sifat-sifat bawaan seperti itu
sangat sulit untuk disembuhkan. Jika mereka tetap mempertahankan sifat-sifat
yang jelek seperti itu, maka tidak diragukan lagi akan menjadi “virus” dalam
generasi berikutnya.
Berdasarkan uraian diatas, ada beberapa pikiran yang
dapat dicatat sebagai indikator santun tidaknya seseorang berbahasa Indonesia.
a)
Ketidaksantunan berbahasa dapat
disebabkan oleh:
·
Ketidaktahuan kaidah kesantunan
yang harus dipakai ketika berbahasa
·
Kesulitan meninggalkan
kebiasaan lama dalam budaya bahasa pertama sehingga masih terbawa dalam
kebiasaan lama
·
Sifat bawaan yang memang suka
berbahasa tidak santun di hadapan publik
b)
Pemakaian bahasa Indonesia yang
santun dapat diidentifikasi penandanya sebagai berikut:
·
Penutur berbicara wajar dengan
akal sehat
·
Penutur mengedepankan pokok
masalah yang diungkapkan
·
Penutur selalu berprasangka
baik terhadap mitra tutur
·
Penutur terbuka dan
menyampaikan kritik secara umum
·
Penutur menggunakan bentuk
lugas
·
Penutur mampu membedakan antara
suasana bercanda dan serius
c)
Bahasa yang santun juga dapat
diaplikasikan dalam bentuk verbal atau non-verbal.
Verbal
·
Perkataan “tolong” ketika
hendak meminta tolong orang lain
·
Ucapan “terima kasih” setelah
orang lain melakukan tindakan yang diinginkan oleh penutur
·
Penyebutan kata “Bapak” atau
“Ibu” dibanding dengan kata “Anda”
·
Penyebutan kata “beliau”
daripada “dia” untuk orang yang lebih dihormati
·
Penggunaan kata “minta maaf”
untuk ucapan yang merugikan mitra tutur
Non-Verbal
·
Memperlihatkan wajah ceria
·
Selalu tampil dengan tersenyum
ketika berbicara
·
Sikap menunduk ketika berbicara
dengan mitra tutur yang lebih dihormati
·
Posisi tangan yang selalu
merapat pada tubuh (tidak berkacak pinggang)
d)
Meskipun belum didukung dengan
data yang cukup valid, beberapa penanda bahasa yang tidak santun dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
·
Penutur menyampaikan kritik
secara langsung (menohok mitra tutur) dengan kata atau frase kasar
·
Penutur didorong oleh rasa
emosi ketika bertutur (sehingga menimbulkan kesan marah terhadap mitra tutur)
·
Penutur protektif terhadap pendapatnya (agar pendapat
mitra tutur tidak dipercaya orang lain)
·
Penutur SENGAJA ingin
memojokkan mitra tutur, dengan demikian, mitra tutur menjadi tidak berdaya
·
Penutur menyampaikan tuduhan
atas dasar kecurigaan terhadap mitra tutur